Mengenang Cosmas Kemong, anggota polisi pengawal Moses Kilangin dan Bestuur Kokonao (Bagian-1)

Cosmas Kemong
Mendiang Cosmas Kemong, bertugas dari pangkat rendah sampai pensiun sebagai anggota Polisi Republik Indonesia (Polri). – Jubi/dok keluarga Cosmas Kemong

Jayapura, Jubi – Mungkin banyak pihak yang tidak mengetahui kalau zaman Belanda ketika Tanah Papua masih bernama Nederlands Nieuw Guinea. Saat itu, mendiang Cosmas Kemong dan Pontius Katagame bertugas menjadi anggota polisi. Keduanya merupakan orang Amungme pertama yang kala itu menjadi anggota polisi di zaman Belanda, pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea. Keduanya bersama rekan-rekannya dari orang Kamoro sebanyak 20 orang mengikuti pendidikan polisi di Hollandia (sekarang Jayapura) pada tahun 1959.

Sekembali di Mimika, ia bertugas di Kokonao dan mendapat tugas dari komandannya waktu itu, seorang meneer Belanda dari Detacement Politie Mimika, Tuan Inspectur v Politie I Kls, AH De Haas. Seorang polisi pada zaman pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea juga biasanya bertugas di lapangan atau dalam bahasa Belanda disebut pula Veldwacter.

Selain itu ada pula Adjunk Admsinitrasi Amtenar, J Jansen, dan satu regu polisi yang terdiri dari enam orang anggota dalam bertugas di wilayah Mimika. Mereka juga ikut turnei bersama Bestuur atau Bistir (Kepala Distrik) di Kokonao, berjalan kaki dari wilayah dataran rendah sampai naik ke wilayah gunung di Lembah Tsinga, Kampung Banti, dan Waa yang sekarang menjadi Tembagapura.

Bestuur sendiri dikenal sejak zaman Belanda. Tetapi sekarang disebut “pamong praja” yang bernaung di bawah Kementerian Dalam Negeri. Bila dulu dikenal dengan Departement van Binnenlands Bestuur. Bahkan aparat kepolisian pun berada di bawah Departemen Dalam Negeri hingga ke wilayah distrik di zaman Belanda.

Hingga tak heran kalau di zaman pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea (Papua zaman Belanda), kalau seorang beestur atau Kadistrik melakukan turnei. Ia akan selalu dikawal anggota polisi, mantri kesehatan untuk berjalan mendaki gunung ke Lembah Tsinga dan juga kampung-kampung di pesisir seperti Kampung Nayaro, Nawaripi, Akimuga, dan lain sebagainya.

Perjalanan dari Kokonao ke Lembah Tsinga dan Kampung Wa, Banti yang sekarang menjadi Kota Tembagapura dapat ditempuh dengan perjalanan kaki paling lama sekitar satu bulan.

Istri Cosmas Kemong
Mama Theresia Pinimet, istri mendiang anggota polisi Belanda dan Indonesia, Cosmas Kemong, saat dijumpai Jubi di kediamannya di SP 2 Timika, Jumat (22/9/2023). – Jubi/dam

Cosmas Kemong juga sempat mendapat tugas untuk mengawal Guru Moses Kilangin dan Kepala Distrik Mimika Timur, Beestur Arnold Mampioper. Kedua pemuda Amungme itu, Cosmas Kemong dan Pontius Katagame, mengikuti pendidikan polisi saat berusia 17 tahun pada 1959 di Hollandia nama Kota Jayapura di zaman Belanda.

Hal ini dibenarkan pula pengacara kelahiran Kokonao, Alloysius Renwarin SH, saat ditemui Jubi pada Kamis (14/9/2023), di Kota Jayapura.

“Ia benar, waktu itu polisi orang Amungme ada dua orang, Bapak Cosmas Kemong dan Bapak Pontius Katagame, beserta 20 orang Kamoro berangkat dari Kokonao ke Fakfak, selanjutnya ikut pendidikan polisi di Hollandia atau Jayapura sekarang,” kata Renwarin.

Ulasan mengenai pendidikan polisi di zaman Belanda pernah pula ditulis Jubi dengan mengutip artikel dari majalah terbitan zaman Nederlands Nieuw Guinea, bernama majalah Triton, edisi 4 September 1958, berjudul Pendidikan Polisi Papua di Hollandia (Jayapura sekarang).

Mama Theresia Pinimet, isteri dari Cosmas Kemong, juga mengakui kalau suaminya ikut pendidikan polisi sejak usia muda.

“Kami menikah pada 1966 dan selanjutnya pada 1967 Bapak harus ikut Bapak Guru Moses Kilangin bersama John Currie, wakil pengawas dari Freeport, naik hellikopter dari Kokonao ke Lembah Tsinga bertemu masyarakat kami di sana,” kata Teresia Pinimet kepada Jubi di Timika, Jumat (22/9/2023) sore, di kediamannya di SP2 Timika.

Ibu dari lima anak ini mengaku kalau selama ini suami bertugas sebagai anggota polisi di Kokonao.

“Bapak juga ikut mengawal bapak bestuur atau bistir Kokonao atau sekarang Kepala Distrik Mimika Timur, Arnold Mampioper, dan juga Bapak Guru Moses Kilangin,” katanya.

anak-anak Kokonao
Anak-anak yang mendapat suntikan dan pengobatan dari mantri dan dokter di Lembah Tsinga dan Kampung Waa, Banti, tahun 1958. Perjalanan ke sana bisa mencapai tiga minggu, bahkan satu bulan dengan berjalan kaki. – Jubi/IST

Ekspedisi Freeport pertama dilakukan pada 1960 dan sebelumnya pihak pemerintah Distrik Kokonao membuka wilayah Akimuga pada 1959 untuk pemindahan orang Amungme dari Lembah Tsinga.

Kepindahan warga dari Lembah Waa dan Tsinga ke Akimuga terutama pula karena pada 1958 ada wabah frambusia. Penyakit Frambusia adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum pertenue. Saat terjadi wabah waktu itu, guru Moses Kilangin menulis laporan yang dimuat dalam majalah Triton edisi Maret 1958 berjudul “Antero masih gelap, pasang lampu lekas.” Artinya, wilayah Amungme masih terbelakang dan butuh sentuhan pembangunan serta pelayanan kesehatan dan pendidikan dari pemerintahan Belanda, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Nederlands Nieuw Guinea.

Peristiwa penyakit frambusia ini disaksikan pula oleh Mama Theresia Pinimet, isteri dari anggota Polisi Cosmas Kemong.

“Waktu itu mama baru berumur tujuh atau delapan tahun dan ada bapak bestuur Adam Manggara, dokter dan mantri Wakum. Waktu kami anak anak dapat suntik dari mantri Wakum,” kata Mama Pinimet Kemong yang kini masih diundang saat kegiatan anggota Bhayangkari di Polres Mimika.

pendidikan polisi
Pendidikan polisi zaman Belanda, polisi Papua melakukan latihan rintangan dan berlari-lari untuk kekuatan fisik. Sekolah polisi bekas markas tentara Sekutu di Base G menjadi tempat pendidikan polisi yang sekarang disebut Sekolah Polisi Negara (SPN) di Kota Jayapura. – Jubi/IST

Arnold Mampioper, mantan Kepala Distrik Mimika Timur, dalam bukunya berjudul ‘Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Puncak Carstenz‘ menyebutkan bahwa pos pemerintah dibangun di Akimuga pada 2-15 September 1959. Sekarang wilayah pos ini sudah menjadi Distrik Akimuga, Kabupaten Mimika.

“Waktu itu wilayah Akimuga dipimpin oleh seorang Adjunk Adminitrasi Amtenar, J Jansen, dan satu regu polisi yang terdiri dari enam orang anggota,” tulis Mampioper.

Setelah pembukaan proyek permukiman di Akimuga pada September 1959, dilanjutkan pula dengan persiapan ekspedisi Freeport pada 1960. Menurut Arnold Mampioper, pada 25 April 1960 dimulai persiapan ekspedisi Oost Borneo Maatschappy (OBM) dan Freeport Sulphur Company, New York ke Ertsberg dan seluruh kawasan Cartensz.

Friets Valkamp, Kepala Onderafdelling Mimika, dan Kepala Distrik Mimika Timur, Bestuur Amtenaar Arnold Mampioper, berdiskusi tentang merencanakan jalur ekspedisi ini.

Ada usulan waktu itu agar ekspedisi OBM dan Freeport mengikuti bekas jalur ekspedisi Colijn tahun 1936-1937. Namun usulan itu ditolak bestuur Kokonao Arnold Mampioper. Dalam bukunya Arnold Mampioper mengusulkan sebaiknya menggunakan jalan setapak atau jalan tikus yang dipakai warga suku Amungme.

“Saya memberikan saran kepada tuan Velkamp sebaiknya ekspedisi OBM – Freeport ini mengikuti jalan setapak yang biasa digunakan saya dan masyarakat Amungme selama ini,” tulis Arnold Mampioper.

Jubi mengutip papuaerfgoed.org menyebutkan ekspedisi ekspedisi Oost Borneo Maatschappy dan Freeport Sulphur Company, New York ke Ertsberg, dan seluruh kawasan Cartensz merupakan ekspedisi terakhir di zaman Belanda. (*)

Komentar
banner 728x250